Tema: Pengelolaan Sumber Daya Alam
Oleh : Dimas Bagus Wiranata Kusuma, Candidate Master of Economics International Islamic University Malaysia
Tanggal : Senin, 31 Mei 2010
Oleh : Dimas Bagus Wiranata Kusuma, Candidate Master of Economics International Islamic University Malaysia
Tanggal : Senin, 31 Mei 2010
Potensi Kekayaan Alam Indonesia
Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dikenal sebagai negara
Megabiodiversity karena keanekaragaman sumberdaya hayatinya, meliputi
hewan, tumbuhan, bentangan alam, dan kandungan alam yang cukup luas.
Ditambah lagi dengan lingkungan pesisir dan panjang garis pantai yang
mencapai 81,000 kilometer serta kepulauan sebanyak 17,000 pulau, maka
Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan pemilik ekosistem terkaya di
dunia. Menempati sekitar 1,3% wilayah bumi, Indonesia diberikan areal
hujan tropis terluas ketiga di dunia berikut kekayaan mineral di
dalamnya. World Bank (1994) menyebutkan bahwa 10% tanaman dan bunga yang
ada di dunia, 12 % jenis binatang menyusui, 17% jenis burung, 25% jenis
ikan, kesemuanya berada di Indonesia. Selain itu, dalam dunia
pertambangan Indonesia tercatat sebagai negara dengan kandungan mineral
kandungan mineral yang berlimpah. Ditegaskan oleh fakta bahwa Indonesia
menempati posisi kedua untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat
untuk tembaga, posisi kelima untuk nikel, terbesar ketujuh untuk emas,
dan kedelapan untuk komoditas batu bara. sehingga dengan posisi
demikian, kekayaan tambang berkontribusi 11% dari pendapatan ekspor dan
2,5% dari GDP.
Untuk siapa SDA Indonesia?
Ironisnya, dibalik kekayaan alam yang begitu melimpah, tersingkap kenyataan bahwa banyak menyimpan ketidakadilan khususnya dalam distribusi penguasaan sumber daya alam (SDA). Penguasaan dan pengelolaan SDA selama ini belum mampu meningkatkan dan menempatkan rakyat Indonesia sebagai target menuju gerbang kesejahteran sebagaimana amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 3, "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikusasi oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Tampaknya semangat kapitalis mampu mengaburkan tujuan penguasaan dan pengelolaan SDA oleh negara, yang sesungguhnya semata-mata demi dan untuk keuntungan rakyat, bukan sebaliknya. Sejak tahun 1967, misalnya, pemerintah mengeluarkan izin berupa Kontrak Karya seluas 84.152.875,92 Ha atau separuh luas daratan Indonesia untuk dieksploitasi. Namun, menurut Walhi (1994) eksploitasi hutan oleh HPH menunjukkan bahwa 85% dinikmati oleh pengusaha sendiri, dan sisanya oleh pemerintah. Indikasi lain ketidakberpihakan bagi rakyat tampak pada angka penyerapan kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan, yaitu pada HPH yang hanya sekitar 153.438 orang berbanding sekitar 20 juta orang yang mengharapkan pekerjaan akibat kemiskinan yang berkepanjangan. Dipihak lain, dalam sektor pertambangan, Indonesia telah memulai kontrak karya dengan PT Freport Indonesia sejak 1967 untuk konsesi 30 tahun. Indikasi ketidakadilan tampak pada royalty yang disetor kepada negara yang menurut laporan Econit hanya sekitar 1-3,5% atau sekitar 479 juta Dolar AS (SWA, 1997). Berdasarkan laporan GATRA (1998), jumlah itu terlampau kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang diterima sekitar 1,5 miliar Dollar (1996) dan hanya disisihkan 1% sebagai dana pengembangan masyarakat Papua.
Mengapa Mis-management terjadi?
Hakikatnya sumber daya alam disediakan oleh sang pencipta untuk keberlangsungan hidup dan kemakmuran manusia dengan pemerintah sebagai pengelolanya. Dengan demikian, dalam setiap pengambilan kebijakan dan putusan menyangkut SDA, pemenuhan dan kepentingan rakyat mutlak mendapat prioritas. Seperangkat peraturan telah banyak dikeluarkan dengan harapan dapat memastikan efektivitas pengelolaan SDA, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Ini pulalah yang kemudian menjadi hasil dari Konferensi Stockholm (1972) serta dikukuhkan sebagai dasar konsep "Konsep Pembangunan Berkelanjutan". Akan tetapi, dalam konsideran TAP IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan SDA selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, dan ketimpangan struktur penguasaan dikarenakan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan bertentangan yang secara implisit sebenarnya dapat mengancam keberlangsungan konsep tersebut. Dengan demikian, dapatkah kita menjustifikasi bahwa tumpulnya peraturan pengelolaan SDA apakah dikarenakan telah mandulnya fungsi pengawasan dan penegakan negara, atau menunjukkan makin akutnya krisis legitimasi negara dalam mengawal implementasi peraturan lingkungan hidup, atau hegemoni kekuatan asing yang sedemikian kuat mencengkram sehingga mampu membelokkan idealisme negara?
Krisis Ethics?
Menyikapi ketidakefektifan peraturan dalam manajemen pengelolaan SDA, maka, jika kita masih mengharapkan adanya solusi yang tuntas terhadap permasalahan ini, maka kita sudah tidak bisa lagi mengharapkan solusi-solusi yang hanya ada dalam wilayah ilmu ekonomi semata. Solusi yang dibutuhkan seharusnya adalah solusi yang lebih bersifat fundamental, yaitu solusi yang mengarah pada terjadinya perubahan pada sistem nilai yang diyakini para pelaku ekonominya. Penekanan unsur ethics dalam aktivitas ekonomi adalah suatu keniscayaan karena ethics sebenarnya adalah panduan tidak tertulis yang muncul sebagai aturan dan didorong oleh faktor "kebenaran" untuk diimplementasikan dalam berbagai konteks kehidupan. Pendeknya, ethics dapat mendorong setiap orang untuk dapat memisahkan dan mengidentifikasi perihal yang baik dan tidak dalam mengamati serta akhirnya memutuskan untuk dilakukan atau tidak. Dengan demikian integrasi ethics ke dalam ekonomi akan mendorong kegiatan ekonomi lebih produktif karena perilaku manusia terarah menjadi lebih terkendali, berkeadilan, dan jauh dari konflik kepentingan. Sebaliknya pengenyampingan ethics akan berdampak pada munculnya banyak peraturan yang terkesan kompleks dan costly karena banyaknya kepentingan yang sama-sama ingin dipuaskan. Hal ini pada gilirannya melupakan target sebenar dari setiap penyusunan suatu peraturan yaitu semata-mata melindungi dan memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat.
Mulai Dari Mana?
Sonny Keraf (2002) menegaskan bahwa kegagalan dalam memahami etika pembangunan berkelanjutan telah berdampak pada kelirunya dalam mengimplementasikan paradigma yang memuat prinsip kerja pembangunan. Karenanya reformasi paradigma individu dapat dijadikan permulaan dalam membentuk paradigma utuh pembangunan berkelanjutan. Paradigma adalah cara pandang seseorang dalam menyikapi sesuatu dimana ia bergantung pada seberapa tinggi tingkat kepahaman akan filosofi etika itu sendiri. Ethics sebenarnya adalah sistem nilai yang berdasar pada nilai-nilai agama. Sehingga membangun paradigma berbasis spiritual mutlak menjadi titik tolak dalam membangun etika pembangunan. Tentunya, dalam perkembangannya pembentukan etika sangat erat terkait dengan unsur reason dan revelation. Unsur reason (alasan) adalah pernilaian subjektif yang muncul dari pikiran individu berdasar pada pengetahuan dan pengalaman selama proses kehidupan, dimana ia bisa dinilai dan berakhir dengan baik dan tidak. Oleh karenanya, unsur reason perlu dilengkapi dengan unsur revelation, yaitu dalam konteks ini adalah panduan nilai agama. Tak dipungkiri bahwa agama berisi seperangkat aturan atau sistem nilai universal yang mengarahkan semua aktivitas manusia menuju kebenaran universal. Pada akhirnya penekanan etika dalam pembangunan akan membantu dalam memupus persaingan yang merugikan, kecemburuan, bahkan memperkuat solidaritas sosial, serta menciptakan kecenderungan pada pemenuhan rasa keadilan. Pendek kata, konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mencoba mendinamiskan dan menyeimbangkan pengelolaan lingkungan dan optimalisasinya terhadap perekonomian dapat diterapkan hanya bila para pelaku ekonomi mendasarkan dan memasukkan unsur etika (ethics) dalam implementasi kebijakan dan setiap perilakunya.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kelimpahan tersebut sepenuhnya telah diamanatkan kepada negara/pemerintah untuk dikelola demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam upaya optimalisasi pengelolan SDA bagi ekonomi rakyat dan negara, maka seperangkat peraturan dibuat sebagai dasar kegiatan dan kebijakan. Sayangnya, banyaknya peraturan tidak menjamin keteraturan dan justeru tumpang tindih bahkan bertentangan. Dengan demikian, internalisasi unsur etika (ethics) oleh pelaku ekonomi serta meletakkan paradigma pembangunan yang tidak hanya mengandalkan unsur reason, namun juga revelation (nilai agama) diyakini dapat membantu mengembalikan prinsip dan konsep yang digagas dalam jargon pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Akhirnya, integralisasi etika dalam kegiatan ekonomi diharapkan dapat berdampak luas pada kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negara di masa mendatang.
Untuk siapa SDA Indonesia?
Ironisnya, dibalik kekayaan alam yang begitu melimpah, tersingkap kenyataan bahwa banyak menyimpan ketidakadilan khususnya dalam distribusi penguasaan sumber daya alam (SDA). Penguasaan dan pengelolaan SDA selama ini belum mampu meningkatkan dan menempatkan rakyat Indonesia sebagai target menuju gerbang kesejahteran sebagaimana amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 3, "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikusasi oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Tampaknya semangat kapitalis mampu mengaburkan tujuan penguasaan dan pengelolaan SDA oleh negara, yang sesungguhnya semata-mata demi dan untuk keuntungan rakyat, bukan sebaliknya. Sejak tahun 1967, misalnya, pemerintah mengeluarkan izin berupa Kontrak Karya seluas 84.152.875,92 Ha atau separuh luas daratan Indonesia untuk dieksploitasi. Namun, menurut Walhi (1994) eksploitasi hutan oleh HPH menunjukkan bahwa 85% dinikmati oleh pengusaha sendiri, dan sisanya oleh pemerintah. Indikasi lain ketidakberpihakan bagi rakyat tampak pada angka penyerapan kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan, yaitu pada HPH yang hanya sekitar 153.438 orang berbanding sekitar 20 juta orang yang mengharapkan pekerjaan akibat kemiskinan yang berkepanjangan. Dipihak lain, dalam sektor pertambangan, Indonesia telah memulai kontrak karya dengan PT Freport Indonesia sejak 1967 untuk konsesi 30 tahun. Indikasi ketidakadilan tampak pada royalty yang disetor kepada negara yang menurut laporan Econit hanya sekitar 1-3,5% atau sekitar 479 juta Dolar AS (SWA, 1997). Berdasarkan laporan GATRA (1998), jumlah itu terlampau kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang diterima sekitar 1,5 miliar Dollar (1996) dan hanya disisihkan 1% sebagai dana pengembangan masyarakat Papua.
Mengapa Mis-management terjadi?
Hakikatnya sumber daya alam disediakan oleh sang pencipta untuk keberlangsungan hidup dan kemakmuran manusia dengan pemerintah sebagai pengelolanya. Dengan demikian, dalam setiap pengambilan kebijakan dan putusan menyangkut SDA, pemenuhan dan kepentingan rakyat mutlak mendapat prioritas. Seperangkat peraturan telah banyak dikeluarkan dengan harapan dapat memastikan efektivitas pengelolaan SDA, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Ini pulalah yang kemudian menjadi hasil dari Konferensi Stockholm (1972) serta dikukuhkan sebagai dasar konsep "Konsep Pembangunan Berkelanjutan". Akan tetapi, dalam konsideran TAP IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan SDA selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, dan ketimpangan struktur penguasaan dikarenakan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan bertentangan yang secara implisit sebenarnya dapat mengancam keberlangsungan konsep tersebut. Dengan demikian, dapatkah kita menjustifikasi bahwa tumpulnya peraturan pengelolaan SDA apakah dikarenakan telah mandulnya fungsi pengawasan dan penegakan negara, atau menunjukkan makin akutnya krisis legitimasi negara dalam mengawal implementasi peraturan lingkungan hidup, atau hegemoni kekuatan asing yang sedemikian kuat mencengkram sehingga mampu membelokkan idealisme negara?
Krisis Ethics?
Menyikapi ketidakefektifan peraturan dalam manajemen pengelolaan SDA, maka, jika kita masih mengharapkan adanya solusi yang tuntas terhadap permasalahan ini, maka kita sudah tidak bisa lagi mengharapkan solusi-solusi yang hanya ada dalam wilayah ilmu ekonomi semata. Solusi yang dibutuhkan seharusnya adalah solusi yang lebih bersifat fundamental, yaitu solusi yang mengarah pada terjadinya perubahan pada sistem nilai yang diyakini para pelaku ekonominya. Penekanan unsur ethics dalam aktivitas ekonomi adalah suatu keniscayaan karena ethics sebenarnya adalah panduan tidak tertulis yang muncul sebagai aturan dan didorong oleh faktor "kebenaran" untuk diimplementasikan dalam berbagai konteks kehidupan. Pendeknya, ethics dapat mendorong setiap orang untuk dapat memisahkan dan mengidentifikasi perihal yang baik dan tidak dalam mengamati serta akhirnya memutuskan untuk dilakukan atau tidak. Dengan demikian integrasi ethics ke dalam ekonomi akan mendorong kegiatan ekonomi lebih produktif karena perilaku manusia terarah menjadi lebih terkendali, berkeadilan, dan jauh dari konflik kepentingan. Sebaliknya pengenyampingan ethics akan berdampak pada munculnya banyak peraturan yang terkesan kompleks dan costly karena banyaknya kepentingan yang sama-sama ingin dipuaskan. Hal ini pada gilirannya melupakan target sebenar dari setiap penyusunan suatu peraturan yaitu semata-mata melindungi dan memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat.
Mulai Dari Mana?
Sonny Keraf (2002) menegaskan bahwa kegagalan dalam memahami etika pembangunan berkelanjutan telah berdampak pada kelirunya dalam mengimplementasikan paradigma yang memuat prinsip kerja pembangunan. Karenanya reformasi paradigma individu dapat dijadikan permulaan dalam membentuk paradigma utuh pembangunan berkelanjutan. Paradigma adalah cara pandang seseorang dalam menyikapi sesuatu dimana ia bergantung pada seberapa tinggi tingkat kepahaman akan filosofi etika itu sendiri. Ethics sebenarnya adalah sistem nilai yang berdasar pada nilai-nilai agama. Sehingga membangun paradigma berbasis spiritual mutlak menjadi titik tolak dalam membangun etika pembangunan. Tentunya, dalam perkembangannya pembentukan etika sangat erat terkait dengan unsur reason dan revelation. Unsur reason (alasan) adalah pernilaian subjektif yang muncul dari pikiran individu berdasar pada pengetahuan dan pengalaman selama proses kehidupan, dimana ia bisa dinilai dan berakhir dengan baik dan tidak. Oleh karenanya, unsur reason perlu dilengkapi dengan unsur revelation, yaitu dalam konteks ini adalah panduan nilai agama. Tak dipungkiri bahwa agama berisi seperangkat aturan atau sistem nilai universal yang mengarahkan semua aktivitas manusia menuju kebenaran universal. Pada akhirnya penekanan etika dalam pembangunan akan membantu dalam memupus persaingan yang merugikan, kecemburuan, bahkan memperkuat solidaritas sosial, serta menciptakan kecenderungan pada pemenuhan rasa keadilan. Pendek kata, konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mencoba mendinamiskan dan menyeimbangkan pengelolaan lingkungan dan optimalisasinya terhadap perekonomian dapat diterapkan hanya bila para pelaku ekonomi mendasarkan dan memasukkan unsur etika (ethics) dalam implementasi kebijakan dan setiap perilakunya.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kelimpahan tersebut sepenuhnya telah diamanatkan kepada negara/pemerintah untuk dikelola demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam upaya optimalisasi pengelolan SDA bagi ekonomi rakyat dan negara, maka seperangkat peraturan dibuat sebagai dasar kegiatan dan kebijakan. Sayangnya, banyaknya peraturan tidak menjamin keteraturan dan justeru tumpang tindih bahkan bertentangan. Dengan demikian, internalisasi unsur etika (ethics) oleh pelaku ekonomi serta meletakkan paradigma pembangunan yang tidak hanya mengandalkan unsur reason, namun juga revelation (nilai agama) diyakini dapat membantu mengembalikan prinsip dan konsep yang digagas dalam jargon pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Akhirnya, integralisasi etika dalam kegiatan ekonomi diharapkan dapat berdampak luas pada kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negara di masa mendatang.
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzQ4MA==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar