Tema: Reformasi Birokrasi untuk Lingkungan Hidup
Oleh : Ikhsanudin (Mahasiswa Teknik Kimia UGM)
Tanggal : Senin, 31 Mei 2010
PLUTOKRASI, korporatrokasi,
dan korupsi adalah musuh utama lingkungan hidup Indonesia bahkan juga
menjadi musuh utama lingkungan hidup seluruh dunia, disadari ataupun
tidak. Hal itu diakibatkan oleh rusaknya birokrasi Indonesia yang sudah
mencapai level tingkat stadium tingkat akhir.
Reformasi birokrasi yang hanya dilakukan dalam tataran permukaan
tidak akan sanggup memecah gurita yang memiskinkan lingkungan hidup
Indonesia, bahkan memaksa lingkungan hidup untuk kembang-kempis tanpa
nafas. Karena penjahat-penjahat lingkungan hidup itu sudah menguasai
birokrasi bahkan merekalah yang membuat birokrasi. Apalagi saat ini
mereka telah membentuk koalisi. Lebih jauh dari itu sekretariat bersama
"tidak peduli pada lingkungan" telah terbentuk di pelataran birokrasi
Indonesia.
Mulai dari Plutokrasi. Plutokrasi adalah pemerintahan yang dikuasai
oleh orang-orang yang bermodal besar, kaya rasa, dan menguasai sebagian
besar aset-aset negara. Seperti dikemukakan oleh Bapak Sofyan Effendi,
mantan rektor UGM, pemilik aset terbesar di negeri ini hanya berjumlah
12 keluarga. Dan keluarga pemilik perusahaan yang sebagian besar
bergerak dalam eksplorasi dan eksploitasi, yang nota bene mau tidak mau
lingkungan hidup mendapat pengaruhnya, ternyata juga menjadi oknum
pemerintahan. Dan alangkah berbahayanya ketika pemilik modal dan
perusahaan eksploitasi yang biasanya sewenang-wenang terhadap lingkungan
karena mazhab ekonomi yang mengharuskan untung sebesar-besarnya dengan
pengeluaran sekecil-kecilnya, menjadi penentu kebijakan dan mempunyai
akses pemerintahan.
Akan hancurlah tatanan lingkungan tanpa orang-orang penyebabnya ini
menennggung apa yang diusahakan. Lumpur lapindo menjadi contoh nyata
bagaimana lingkungan hidup yang hancur akibat lumpur tidak segera
diatasi. Pihak pelakunya tidak bertanggung jawab dalam merecovery
kemanusiaan apalagi lingkungan hidupnya. Kerusakan parah telah melanda,
termasuk persawahan, air laut yang tercemari oleh lumpur, yang
disinyalir mengandung Cadmium yang bisa jadi akan menyebabkan
terulangnya tragedi Minamata Jepang. Tetapi plutokrasi menutup
pertanggungan jawab itu semua. Lingkungan hidup rusak tanpa pelakunya
bisa tersapu keadilan secara merata. Yah, platokrasi membuat keadilan
hilang. Hak asasi lingkungan hidup tidak lagi dipandang. Keluarga salah
tetap terbela karena mereka adalah penguasa pemerintahan.
Korporatokrasi tak kalah kejamnya. Korporatokrasi adalah
pemerintahan dari Korporat, oleh Korporat dan untuk Korporat. PT
Freeport adalah gajah di pelupuk mata sebagai contoh korporatokrasi yang
negara tidak sanggup untuk melawannya. Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM) telah berulang kali bersuara terhadap masalah penambangan
Freeport yang merusak ekosistem dengan sangat cepatnya. Boleh jadi
ketika kontrak yang diperpanjang oleh Megawati itu berakhir, gunung itu
telah menjadi lembah cekung dan kerusakan ekosistem yang parah.
Kerusakan lingkungan hidup akibat Freeport telah jelas terbentang
dan terkuak salah satunya oleh Muhammad Amien Rais. Akan tetapi negara
telah kalah oleh Korporatokrasi multinasional yang mampu mengalahkan
Indonesia, bahkan negara yang dalam kondisi benar pun tunduk. Ahli hukum
Internasional pasti tahu bahwa kerjasama harus menguntungkan kedua
belah pihak dan tidak boleh merugikan satu pihak. Ketika ingkungan
mejadi rusak itu adalah kerugian yang bisa dinegosiasikan ulang. Akan
tetapi begitulah kenyataan yang terjadi. Lagi-lagi lingkungan hidup hak
asasinya terzalimi.
Masih juga satu lagi pembunuh hak asasi lingkungan hidup Indonesia,
bahkan seluruh dunia juga bisa terbunuh olehnya yaitu korupsi. Korupsi
dengan segala pengertiannya yang terbukti mempunyai konstituen pengikut
yang banyak. Korupsi ini tidak hanya mampu merenggut kehormatan birokrat
Indonesia, bahkan juga bisa merenggut Lembaga Swadaya Masyarakat
pelindung lingkungan sekalipun.
Korupsi penjahat lingkungan ini dimulai dari pembuatan peraturan dan
undang-undang yang mempunyai implikasi kepada lingkungan hidup. Anggota
dewan yang terhormat mulai dari awalnya telah mendapat pesanan dari
para penjahat lingkungan. Dengan uang yang dimilki mengajak wakil yang
dipilih rakyat kedalam kenikmatan yang melenakan, sehingga kualitas
keputusan undang-undang yang dihasilkan itu akan mengikuti siapa yang
memberikan makanan. Lingkungan hidup yang merana dan meronta ternyata
tak bisa mencapai telinga sang penguasa aspirasi. Tertutup matanya,
bahwa lingkungan inilah selama ini yang menghidupi paru-parunya dengan
oksigennya, membuat indahnya pemandangan dunia dengan hijaunya, dan
lingkungan itulah yang menjadi tempat berlindung bagi biota-biota dan
menjaga ekosistem alam. Jikalau sistem kseimbangan lingkungan ini
dirubah chaos akan terjadi dan meruntuhkan negeri.
Terbayang dalam ingatan betapa bermasalahnya Undang-Undang Minerba,
Undang-Undang Penanaman Modal, maupun Peraturan Pemerintah tentang Hutan
Lindung yang sangat bisa ditebak siapa yang memesan itu. Di dalamnya
klausul-klausulnya kelestarian lingkungan digadaikan dengan sangat
murahnya dan begitu tidak elegannya. Tanpa tedeng aling-aling lagi para
pembuat kebijakan melakukan perusakan terhadap keberlangsungan hak-hak
lingkungan yang nantinya juga manfaatnya akan kembali ke manusia lagi.
Dan hal itu tidak lain kecuali dikarenakan adanya praktek-praktek
korupsi yang terjadi namun tidak kasat mata di mata publik.
Tidak hanya berhenti disana saja, korupsi yang menyandera negara,
seperti kata Amien Rais, mempunyai andil besar dalam perusakan
lingkungan hidup negeri ini. Cobalah tilik bupati-bupati, atau
gubernur-gubernur yang melakukan hal itu di daerahnya sendiri. Merusak
lahan, merusak lingkungan hidup. Di salah satu daerah contohnya,
pemerintah setempat melegalkan penambangan pasir besi dipinggir
pantai yang pasti dampak terhadap lingkungan akan signifikan. Ancaman
ekstrusi, abrasi, pencemaran, tak terhindarkan lagi.
Belum lagi nantinya ada LSM Lingkungan yang mendapatkan order untuk
mendukung program pro-lingkungan dari CSR perusahaan eksploitator
lingkungan, tetapi sungguh hal itu hanya untuk menutupi keburukan
perusahaan tersebut.
Mereka bertiga sekarang berkoalisi, membentuk aliansi yang kuat dan
tidak mudah tergoyahkan. Merusak, menghancurkan, kembali merusak, dan
kembali menghancurkan alam. Sekretariat mereka adalah birokrasi
pemerintah itu sendiri. Dan untuk mengahancurkan para penghianat hak
asas lingkungan hidup itu, langkah pertama adalah menghancurkan, koalisi
mereka, diikuti penghancuran terhadap masing-masing dengan cara yang
elegan.
Cara awal yang harus segera ditempuh adalah penindakan secara tegas
para penjahat lingkungan yang masih berkliaran, entah di hutan, di
pantai, di daerah pertambangan atau dimanapun itu yang menjadi ladang
operasi mereka. Kasus korupsi hutan yang menyalahgunakan HPH harus
diusut sampai akar-akarnya.
Kembangkan kasus kejahatan lingkungan yang belum tersentuh, dan
dengan keberanian ekstra melawan kezaliman itu. Freeport yang sedemikian
parahnya harus diajak untuk negosiasi ulang. Indonesia dalam posisi
benar, dan ketika maju di pengadilan Internasional pun akan menang. JIka
presiden tidak mau menteri lingkungan hidup terutama harus berani maju,
rakyat akan ada dibelakang membela hal itu.
Pembatasan terhadap kepemilikan aset negara terutama yang
berpengaruh pada lingkungan manjadi salah satu yang penting untuk
dilakukan. Sehingga mereka yang duduk di lingkaran kekuasaan sedikit
akan menggunakan pengaruhnya akibat keuntungan yang tidak signifikan.
Peraturan-peraturan lingkungan yang menjadi payung perusak
lingkungan segera di yudisial reviewkan dan diganti dengan peraturan
yang berpihak pada lingkungan.
Tentu saja paradigma pembangunan yang melestarikan lingkungan hidup
ditanamkan ke dalam generasi muda dalam kurikulum pendidikan. Karena
kalaulah langkah-langkah tadi gagal, generasi baru ini mungkin menjadi
solusi yang mencerahkan. (*)
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzQzMw==